Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Simpang Bunga

Cerita Pendek Harris Effendi Thahar

Sudah lama kami tidak melewati Simpang Bunga. Kini ojek tambah banyak mangkal di situ. Apalagi sejak kereta tidak pernah lagi lewat sejak beberapa tahun belakangan, kendaraan bermotor seakan tidak peduli lagi dengan pintu kereta yang dulu sewaktu-waktu bakal menutup apabila kereta api lewat di Simpangan Bunga. Kini, bahkan ojek-ojek parkir persis di tengah-tengah rel kereta.

Simpang itu kini menjadi macet, karena sudah ada pasar tumpah. Dulu cuma beberapa pedagang bunga di sudut-sudut simpang. Orang-orang yang hendak berziarah ke pemakaman yang jauhnya tak sampai satu kilo dari simpang itu berhenti sejenak membeli bunga sekadarnya. Oleh sebab itu, Simpang Bunga melekat menjadi nama simpang itu. Tunggu dulu, jangan cepat tergiur dengan motor ojek baru, carilah ojek yang butut begitu adik ipar menasihati karena tukang ojek bermotor baru sering suka ngebut dan sering terjadi kecelakaan karena nafsu memotong kendaraan di depannya besar. Jangan-jangan, maksud hendak berziarah, justru langsung diantar ke kuburan "Sudah banyak kejadian lho ," adik ipar bilang.

Semua jenazah yang hendak dikuburkan di pemakaman itu selalu lewat Simpang Bunga. Pernah juga simpang itu bernama Simpang Maut. Bahkan pernah bernama Simpang Neraka sejak sebuah ambulans yang mengangkut jenazah menuju ke pemakaman ditabrak kereta api hingga menewaskan sopir dan enam orang pengiring jenazah di dalamnya.

Menawar ojek di tengah rel kereta cukup ngeri juga karena ingat cerita-cerita masa lalu itu, ketika kereta pengangkut batu bara masih beroperasi. Kami berdua naik ojek butut, takut dibawa ngebut. Tapi, baru saja ojek yang ditumpangi istri bergerak, istri berteriak. Rupanya selendangnya yang menjulur terlalu panjang diputar roda belakang. Maklumlah, kami di Jakarta tak terbiasa naik ojek. Baru sempat pulang kampung setelah lebih dua tahun kematian ibu mertua.

Ojek itu mendadak berhenti. Kami berhenti karena kejadian itu. Orang-orang cepat berkerubung Penjual bunga cepat menawarkan bunganya karena melihat kami memang tidak membeli bunga.

"Beli bunga dulu Bu, kalau ke makam.."

Istri menggeleng, karena kami memang tidak biasa membawa bunga atau ikut tradisi menabur bunga kalau pergi ziarah ke makam, kecuali dengan sejumlah doa masing-masing.

"Itu sebabnya, Ibu bisa celaka kalau ketinggalan syarat. Hanya makam anjing yang tidak disekar," celoteh tukang bunga itu lagi.

Sungguh terasa kurang ajar kata-kata penjual bunga itu, tapi kami diam saja dan meneruskan perjalanan naik ojek dengan selendang istri yang cidera. Masa, ia samakan makam ibu mertua kami dengan kuburan anjing hanya karena tidak membeli bunganya. Dan, di gerbang pemakaman justru penjual bunga lebih banyak lagi. Biasanya hanya pada hari-hari tertentu saja banyak penjual bunga, semisal hari raya Idul Fitri atau mau masuk bulan puasa.

Beberapa orang anak penjual bunga mengelilingi kami, tapi kami terus masuk tanpa menghiraukan mereka. Tiga orang di antaranya nekat menggiring kami sampai ke makam ibu mertua. Dua orang mengundurkan diri karena melihat peziarah lain datang. Yang satu ini dengan nyinyir menawarkan juga bunganya meski istri menolaknya dengan suara tinggi campur emosi sedihnya melihat makam ibu mertua. Anak itu berbalik dan lari sambil berteriak: "makam anjing!" Karena kami tidak peduli, tiga orang anak itu memperhatikan kami dari jauh sambil bercakap sesamanya, mempercakapkan kami agaknya.

*

Belum tiga tahun ibu mertua kami berkubur di sini, pemakaman terlihat cepat sekali penuh dan mulai sesak. Dari jauh-dibatasi oleh sungai kecil dengan jembatan melengkung-kami lihat serombongan pengantar jenazah. Terdengar juga jeritan histeris sebagai luapan kesedihan yang mendalam mengiringi jenazah itu. Demikian juga yang terjadi pada istri ketika ibu mertua dimakamkan di sini lebih dua tahun lalu. Kami memperhatikan makam ibu mertua yang ternyata memang apik setelah dipasang keramik kelas satu oleh kakak ipar. Warnanya abu-abu keputihan dengan ukiran nama almarhumah yang dipahat halus diatas batu marmer pilihan. Makam ibu mertua tampak menonjol dari makam-makam di sekelilingnya. Tubuh makam itu kelihatan bersih mengkilap disapu hujan yang turun semalam.

Karena istri mendesaklah kami pulang, khusus ziarah ke makam ibu mertua dan menginap di rumah adik ipar. Kami tidak mampir, apalagi menginap di rumah kakak ipar yang besar karena telah terjadi keretakan hubungan istri dengan kakak perempuannya itu gara-gara sumbangan untuk pembangunan kuburan ibu mertua.

"Cuma dua ratus ribu? Apa sih tanda bakti terakhirmu pada ibu? Kalau kita berlima cuma dua ratus ribu masing-masing, kamu dapat nggak sih , bayangkan. Seperti apa kuburan ibu? Mungkin kamu tahu, kuburan anjing jauh lebih megah dari kuburan ibu kita sekarang," kata kakak ipar dalam telepon tahun lalu kepada istri.

Selanjutnya: Simpang Bunga 2