Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

"Kakak tahu kalau aku tidak ikut cari uang. Itu dari tabunganku. Biaya anak-anak sekolah di Jakarta jauh lebih tinggi daripada di kampung kita. Berapalah gaji suamiku," jawab istri meyakinkan kakaknya "Atau kalau kakak mau, tetapkan berapa aku harus menyumbang, nanti kucicil membayarnya pada kakak,"

Tidak ada lagi jawaban dari kakak ipar, telepon cepat ditutup dengan marah. Hanya adik iparlah yang selalu memberi kabar kami di Jakarta dan mengerti keadaan kami hidup di Jakarta dengan tiga orang yang masih perlu biayai banyak untuk pendidikan mereka. Kami membujuk istri yang menangis setelah menerima telepon dari kakak ipar.

Kami mengatakan pada istri bahwa berbakti kepada orang tua itu, sebaiknya sewaktu mereka masih hidup. Tapi kalau setelah kedua orang tua telah meninggal, bakti anak-anak hanyalah mendoakannya setiap sesudah shalat. Doa itu baru dapat diterimanya sebagai pahala kalau anak-anak yang mendoakannya betul-betul anak yang sholeh.

"Selebihnya, sia-sia saja. Itu bukan kata suami, melainkan kata kitab suci."

"Tapi, kita bisa malu juga kalau sekelilingnya adalah makam yang indah sementara makam ibu kita tidak terurus. Seolah-olah anak-anaknya tidak ada yang peduli atau jatuh melarat semua."

"Kuburan hanyalah tanda, bukan sebuah kehormatan. Malah agama melarang kalau kita mengagung-agungkan kuburan. Apalagi minta berkah. Itu syirik!"

Istri tampaknya mengerti, dan lebih mengerti lagi keadaan keuangan suaminya. Akan tetapi, sejak telepon kakak ipar, hubungan kami dengan kakak ipar jadi tergangu, terutama istri yang merasa direndahkan oleh kakaknya.

Kekhusukkan doa kami masing-masing terganggu oleh deheman seorang laki-laki separuh baya yang tiba-tiba datang menghampir. Laki-laki itu berkopiah, berbaju putih dan bersarung, tersenyum sambil memperlihatkan giginya yang kuning dan agaknya tidak terawat.

"Saya doakan Pak, Bu?" tawar lelaki itu.

"Sudah, kami sudah berdoa," jawab istri

"Biasanya saya selalu mendoakan, ehm, maaf ini orang tua Ibu? (sambil menunjuk ke makam ibu mertua). Yang selalu datang tiap bulan ke sini, mirip sekali dengan Ibu, maaf, itu kakak Ibu?"

"Mirip saya?"

"Persis. Tapi belum selalu datang sekeluarga. Ibu itu selalu berkaca mata hitam, berbaju hitam dan kerudung hitam. Selalu begitu. Suaminya juga berkaca mata hitam. Anak-anak dan mantu, serta cucunya semua berbaju hitam. Dan, tak lupa membawa bunga yang banyak. Sayalah yang mendapat kehormatan jadi juru doanya."

Kami mengangguk-angguk dan berusaha bersikap ramah

"Dengan pakaian seragam hitam-hitam ke makam, begitu?" tanya istri

"Ya, begitulah yang lebih afdol."

"Tadi, saya lihat Bapak dari arah seberang sana . Apa tidak ikut mendoakan jenazah yang baru dikubur itu?"

Lelaki separuh baya itu tersipu. Di kantong kemeja putihnya yang kumal kami melihat segepok uang ribuan menyembul. Ia mengeleng-geleng kepalanya. Manatap kami sejenak, lalu membuang pandangan ke arah seberang sungai kecil yang ada jembatan melengkungnya. Kami ikut memandang ke kerumunan orang yang agaknya sedang khusuk dalam ritual penguburan.

"Bapak tahu siapa yang mati itu?"

Kami menggeleng

"Mereka mengubur anjing!"

Kami berpandangan. Ketika menoleh ke arah lelaki tadi, ia telah menghilang. Sepertinya hendak turun hujan.*

Rawamangun, 7 Maret 2004

Sebelumnya: Simpang Bunga 1