Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Batu Menjadi

Cerita Pendek Taufik Ikram Jamil

Daerah kami menunggu takdir buruk; inilah sesuatu yang pasti, lalu mengapa masih ada ketakutan dalam menghadapi kepastian?

Entahlah. Tapi apakah yang dapat kalian rasakan ketika melihat bebatuan bergulung-gulung, bergerak cepat menerjang segala yang melintang, membujur lalu setiap halangan. Gulungan batu yang terus membesar dan membesar.

Apakah yang dapat kalian rasakan ketika melihat batu-batu melambung dari perut bumi. Batu-batu sebesar kelapa, tak kecil tentunya, tiba-tiba berlompatan ke angkasa, membuat garis tegak lurus, kemudian seperti membanting diri dalam gulungan batu-batu. Seterusnya, seterusnya, batu-batu tersebut membaur sebagai gulungan batu-batu yang terus membesar dan membesar.

Kalian lihatlah, bagaimana batu-batu yang sebesar kelapa, batu-batu yang melambung dari perut bumi tersebut, karena begitu banyaknya, seolah-olah membentuk diri menjadi semacam tirai raksasa. Tirai raksasa yang hidup, dengan bagian-bagian yang bergerak ke atas maupun ke bawah secara tegas. Disebabkan gerakan batu-batu itu cukup cepat, pergantiannya pun aduh mak begitu deras, sudah tentu ketinggian tirai tersebut susah dipastikan. Lebarnya tak mudah diukur, cukup sulit pula untuk dikira-kira.

Sementara di belakang tirai batu yang seperti hidup itu, tak begitu jauh di belakang, kalian akan melihat gulungan batu yang juga bergerak. Batu-batu itu bergolek cepat, sehingga membentuk diri sebagai gulungan raksasa yang berguling-guling seperti mengibaskan semua kemarahannya. Oleh karena batu-batu yang melambung, yang membentuk diri sebagai tirai raksasa, pada gilirannya jatuh atau bergabung pada gulungan raksasa itu, tentu sudah dapat dibayangkan bagaimana gulungan raksasa tersebut makin membesar bahkan kadang-kadang memanjat ketinggian tirai raksasa.

Berdirilah pada ketinggian, tak perlu terlalu tinggi memang. Apakah yang dapat kalian rasakan, pada bagian belakang dari batu-batu bergulung yang menjadi latar tirai batu tersebut, seperti membentang sebuah hamparan nan sayup. Kalian pasti akan menjulurkan kepala agar lebih berada di depan dari bagian-bagian tubuh kalian yang lain, seolah-olah dengan cara seperti itu, mata kalian akan dapat melihat lebih jelas --lebih terang. Mungkin ya, setidak-tidaknya kalian ingin meyakinkan penglihatan kalian. Mungkin tidak sekali, tidak dua atau tiga kali, malahan empat sampai delapan kali, kalian akan berbuat demikian. Apakah kalian akan menjadi lebih yakin atau tidak adalah sesuatu yang lain.

Mungkin diperlukan teropong, mungkin. Tentu pandangan yang terlihat akan lebih rinci. Akan kalian lihat, bagaimana hamparan batu tersebut tidaklah mulus. Tidak rata seperti hamparan biasa, sebaliknya berlubang-lubang dan bergelombang pula. Lubang-lubang dan gelombang-gelombang yang tak simetris, seperti sesukanya saja. Di pinggiran lubang tampak buhul-buhul, tampak seperti membengkak laksana pekong, laksana tokak, ya seperti kudis besar di badan manusia. Kalian kan menyadari gambaran itu, manakala di pinggiran lubang-lubang tersebut, juga di berbagai puncak gelombang batu, terdapat percikan berwarna merah dan putih. Selintas, selintas saja, kalian akan melihat perpaduan warna itu seperti mewujudkan dirinya sebagai darah dan nanah.

Tak mungkin pula mata kalian tidak berpaut pada warna gelombang, tirai, dan hamparan batu itu. Didominasi hitam, tidak begitu hitam memang, entah apa perasaan kalian melihat hal-hal itu semua. Ada pula kecoklatan yang membuat berbagai garis di dalam semua bentuk batu, sehingga pastilah mengisyaratkan sesuatu yang berat. Terkadang, warna kuning air terdapat pada beberapa bidang di hamparan batu yang tidak begitu sulit ditangkap oleh mata. Pada tirai batu dan gelombang batu, warna itu mungkin tidak setegas maupun sejelas demikian, cuma warnanya masih menyisakan perhatian pada gerak. Potongan-potongan warna kuning air mempertegas ada gerakan pada tirai maupun gelombang batu-batu tersebut.

Langit terlihat membiru seperti semua isinya secara serentak ingin menyaksikan apa-apa yang terjadi di bumi tanpa halangan sedikit pun. Sosok langit seperti ini terlihat bertaup dengan hamparan batu, membuat garis lengkung di ujung mata. Perpaduan warna biru dan kehitaman yang memuakkan, betul-betul memuakkan. Masuk akal kalau kalian merasa telah berada di mulut seekor binatang buas yang amat besar dan tinggal sekali glek, ajal pun sampai.

Kalian tentu tak mau membayangkannya lebih jauh. Tapi mata kalian masih berada pada langit yang terlihat telanjang bulat --bagai tanpa pakaian, sehingga kadang-kadang bisa saja orang tidak mengenalnya-- sekurang-kurangnya merasa aneh untuk beberapa saat. Dalam pemandangan seperti itu, mungkin kalian sadar, betapa pentingnya awan yang menunjukkan keberadaan langit. Biru semata, sehingga keindahan langit menepi, tak jarang terasa begitu kaku bahkan mencekam.

Next