Rabu....
"Ah! Haruskah aku sekarang berlari ke pohon jengkol itu? Atau ke bukit alas sana? Saat ini aku sangat ingin mengumandangkan seruan azan? Ya Allah... apakah salah saat aku lahir? Kenapa aku lahir sebagai perempuan? Aku ingin ganti kelamin, tapi caranya bagaimana? Pada siapa aku berbagi ceritaku selain sama kamu buku. Bapakku? Ah aku malu mengatakannya. Pada kakak? Adik? Ah, hanya kamu yang bisa mendengar semua keluhanku meski kamu tidak pernah bisa menjawab semua pertanyaanku. Yang jelas sampai saat ini aku masih ingin ganti kelamin agar aku bisa mengumandangkan azan. Tolong jangan bilang siapa-siapa ya buku? Karena menurut bapakku, perempuan itu tidak boleh pamer suara apalagi azan di masjid. Tapi buku, kalau aku azan di kamarku, kok ya tidak puas dan malu didengar Emak."
Nissa menutup buku hariannya dan menyimpannya lagi. Setelah menghela napas berat dan berusaha menenangkan batinnya dia keluar kamar menuju meja makan. Rumah dalam keadaan kosong. Meski keluarganya banyak, tapi jam begini mereka pada ke masjid. Dua kakaknya berada di pondok pesantren di Kediri. Kedua adiknya masih kecil dan sedang main di rumah tetangga.
Nissa agak heran melihat belanjaan yang menumpuk sangat banyak tidak seperti biasanya. Ada tempe beratus-ratus bungkus menumpuk begitu saja di lantai, ada mi kuning, ada sayur kol yang banyak, dan masih banyak lagi yang lainnya. "Ah, mungkin bapak mau nyunatin adik," pikirnya.
Selesai mandi, Nissa pergi ke tempat Umi untuk diajak mengaji di tempat bapaknya atau tepatnya menjemput Umi dari rumahnya. Mereka jalan di jalan bebatuan. Sebentar lagi sampai di rumah Nissa. Di saat sedang menaiki tangga beranda depan, terdengar kumandang azan magrib. Saat itu pula Nissa yang tadi melangkah dengan riang, langsung terkulai lemas dan berhenti. Dia berjongkok sambil bengong-bengong. Umi yang sudah tahu kebiasaan Nissa membiarkan saja, bahkan menunggu sampai Nissa bergerak dengan sendirinya. Umi tidak tahu sama sekali apa yang dirasakan oleh Nissa saat itu karena tak sekali pun Nissa membicarakannya.
***
Malam itu Bapak Wahyudi mengumumkan, kalau mulai besok malam pengajian diliburkan selama beberapa hari. Banyak anak yang senang dengan pengumuman itu, tetapi banyak juga yang kecewa. Salah satu anak mengomando kawan lainnya agar setelah pengajian selesai semua berkumpul.
"Aku punya usul. Bagaimana kalau mulai besok kita bikin kegiatan lain di halaman rumahnya Pak Marto?" ajak Slamet.
"Mau ngapain? Di sana?" tanya kawannya.
"Kita main apa saja di sana. Kan ngajinya lagi prei."
"Setuju."
***
Nissa dan Umi sedang asyik memandangi kawan-kawannya bermain di bawah siraman bulan purnama. Saking asyiknya Nissa sampai kemalaman pulang. Begitu memasuki kamar tidur, kamarnya itu sudah bersih dari segala macam benda, termasuk meja dan buku-bukunya. Nissa celingukan mencari tumpukan bukunya, tapi tidak diketemukan. Hanya buku yang berada di tas sekolahnya yang masih tetap di tempatnya yaitu masih tergantung di belakang pintu. Nissa berniat menemui bapaknya. Tapi ini sudah malam sekali, tak sopan membangunkan Bapak yang sudah tidur. Ah! Besok saja aku tanyakan. Pikirnya. Maka Nissa pun berangkat tidur.
Jam enam pagi Nissa bangun dari tidur, sudah banyak bapak-bapak berkumpul di rumahnya. Malah sebagian sudah ada yang naik genting membukakan genting untuk diturunkan. Nissa tak banyak bertanya. Dia langsung mandi dan pamit sama Emaknya terus berangkat sekolah. Nissa melihat Emak sangat sibuk memasak dibantu para tetangganya.
Sepanjang jalan ke sekolah, Nissa selalu berpikir tentang buku hariannya. Semoga selamat dan tidak ketahuan bapaknya. Apalagi sampai terbaca. Duuh! Malu sekali nanti aku sama bapak. Seharian itu Nissa tidak tenang belajar. Dia lebih banyak diam berharap agar buku hariannya aman.
Satu hari, dua hari, tiga hari. Tak ada cerita di rumah Nissa yang masih tampak kesibukan yang nyata. Nissa berusaha terus mencari buku-bukunya di tumpukan barang yang di singkirkan oleh bapak atau emaknya. Tapi tetap nihil. Buku itu belum juga ketemu. Nissa hampir putus asa.
***
"Nessa, nanti bilang sama teman-temanmu kalau mulai besok malam sudah bisa ngaji seperti biasanya," kata Bapak.
"Iya Pak. Nanti Nissa bilang sama mereka."
"Nissa. Bapak mau bilang sesuatu sama kamu." Kata-kata Bapak agak mengejutkan Nissa.
"Iya Pak. Ada apa ya?" jawab Nissa deg-degan. Nissa khawatir kalau yang akan dibicarakan bapaknya adalah isi buku harian miliknya.
"Nis. Kamu sudah gede loh. Ternyata anak Bapak kok ya manis ya. Gini Nis, nanti setelah kamu lulus sekolah menengah pertama, kamu masuk pesantren putri mau kan?" tanya Pak Wahyudi dengan halus.
"Mau Pak," jawab Nissa singkat.
"Terus gini, Bapak sudah baca semua keresahan hati kamu di buku harianmu. Bapak pikir tidak ada yang salah dengan kamu, dengan jiwamu. Kamu normal anak perempuan," kata Bapak ini sangat mengejutkannya hingga wajahnya pucat karena malu sekali.
"Mak, maksud Bapak?" tanya Nissa gagap. Dadanya bergemuruh. Padahal, dia tahu kalau bapaknya tidak marah setelah tahu isi buku hariannya. Namun, dia malu sekali.
"Ya. Bapak sudah baca semua buku harianmu yang kamu tulis sejak kamu masih kecil, tapi Bapak tidak menyalahkan kamu, apalagi sampai menyalahkan takdir. Tidak Nis, Bapak paham apa yang kamu rasakan itu dan itu wajar terjadi pada beberapa anak gadis. Apalagi kamu punya suara yang bagus. Tapi Nis, sekarang tak kasih tahu ya? Yang ada hubungannya dengan buku harianmu. Sebenarnya tempat terbaik bagi perempuan adalah di dalam kamar atau di dalam lingkungannya. Pada dasarnya, tak ada larangan bagi perempuan untuk azan seperti keinginanmu. Tetapi kamu harus tahu bahwa suara perempuan adalah aurat dan tidak boleh diperdengarkan pada orang yang bukan muhrim. Begitu Nis." Bapak menerangkan panjang lebar dan Nissa mendengarkan dengan diam.
"Bagaimana dengan selama ini Pak, Nissa kan sudah beberapa kali mengikuti lomba qori`ah. Terus gimana?"
"Ya, sudah. Itu ‘kan tugas dari guru dan Bapak waktu itu disuruh mencari wakil dari desa kita untuk maju lomba tingkat kecamatan, ternyata tidak ada yang mau selain kamu. Tak apa. Anggap itu sebuah tugas. Yang penting kamu tidak riya dan takabur dengan merdunya suaramu ya?"
"Iya, Pak."
"Terus kalau kamu masih ingin azan, tak apa seperti biasanya kamu lakukan seperti di atas pohon atau di alas, yang penting jangan mengumandangkan azan di kamar mandi."
"Iya, Pak," jawab Nissa dengan wajah agak lega mendengar dirinya masih boleh azan walau di pohon seperti biasanya.
***
Nissa hanya tiga tahun berada di pondok pesantren putri. Nissa disunting oleh santri putra di pesantren yang sama.
Tiga tahun kemudian Nissa punya dua orang anak yang manis-manis namun Tuhan berkehendak lain atas kebahagiaan rumah tangganya. Suaminya mendapat kecelakaan dan meninggal saat itu juga. Sejak saat itu, tepatnya dua tahun yang lalu, Nissa jadi orang tua tunggal bagi kedua anak laki-lakinya. Dia membanting tulang menggarap lahan Perhutani. Dia menanam jagung, ubi kayu, dan lain sebagainya di sela-sela pohon wajib, yaitu pohon pinus.
Kini perempuan itu sedang termangu sambil mengingat masa lampaunya. Dia bergerak kembali dengan pisau dapurnya yang putih mengkilat. Terus di ayunkan ke arah cabang-cabang cemara kecil. "Ah! Waktu belumlah sore," gumamnya sambil tersenyum seorang diri.***