Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Sembunyi

Cerita Pendek Gita Nuari

Saya diperintahkan untuk bersembunyi oleh kedua teman saya, Beno dan Aep. Katanya, saya sedang dicari oleh beberapa orang berbadan kekar dan berwajah seram. Ada urusan apa mereka mencari saya? Sungguh saya tak mengerti.

"Sudah, pokoknya kau jangan muncul dulu barang beberapa hari, situasinya cukup gawat. Aku nggak rela temanku diculik seperti yang sering terjadi baru-baru ini," tutur Beno, teman saya yang pertama kali menyuruh saya untuk bersembunyi.

"Benar Bim, kau harus hati-hati. Di era reformasi ini, banyak orang berlaku sewenang-wenang, main jarah, main culik, main bunuh. Aku nggak mau hal itu menimpa dirimu," sambung Aep membuat saya semakin tak mengerti.

"Iya, tapi aku ingin tahu dulu masalahnya, kenapa orang yang tak kukenal itu berusaha mencari aku?"

"Aku juga kurang tahu, Bim. Tetapi kayaknya mereka nggak main-main. Mereka serius mau bikin perhitungan dengan kau!" tegas Beno.

"Aku bukan aktivis, Ben. Bukan pula orang dari golongan tertentu. Kalian tahu' kan , kita cuma tukang asongan. Tukang menjajakan barang asongan di lampu-lampu merah? Kadang menjual koran, air mineral, sekali-kali ngamen kalau malas dagang, tak lebih dari itu."

"Ssstt, sudah! Jangan banyak omong. Keadaan sekarang benar-benar lagi gawat. Yang penting sekarang, kau harus sembunyi. Titik!"

* * *

Tiba-tiba saya merasa jadi seorang buronan untuk pertama kali. Padahal berbuat salah terhadap orang sekalipun rasanya belum. Untuk menghindari hal yang tidak saya inginkan, akhirnya terpaksa saya jarang keluar rumah. Tidak berjualan ataupun iseng main ke perempatan jalan atau lampu merah tempat kami mencari sesuap nasi.

Dalam perenungan saya siang dan malam, saya berusaha mencari tahu apa sebab Beno dan Aep melarang saya berjualan di perempatan jalan itu. Walau mereka mengatakan hal itu demi keselamatan diri saya, tetap saja saya penasaran dan kurang paham akan masalahnya. Apa sih kasusnya? Pikir saya. Begitu pentingkah diri saya sehingga ada orang mencari saya.

Ah, kalau hanya bertemu saja, kenapa harus takut, harus sembunyi? Hadapi saja dahulu, resiko belakangan! Pikir saya yang lain. Tetapi kalau saya bertemu dengan orang-orang yang dimaksud teman-teman saya itu, apa saya akan aman-aman saja? Bagaimana kalau tiba-tiba saja saya diculik seperti yang dikatakan oleh kedua teman saya itu. Wah, bisa berabe. Saya tak ingin seperti para aktivis yang diculik beberapa tahun lalu. Dan kalau saya dianggap sebagai aktivis apa pantas?

Memang saya pernah bercerita penuh tentang kejadian penembakan terhadap mahasiswa yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada salah seorang wartawan pada zaman krisis reformasi dulu karena secara kebetulan saat penembakan itu terjadi saya berada tepat di bawah jembatan.

Dan juga saya ceritakan tentang adanya beberapa kelompok tertentu membakar puluhan toko di mana di dalamnya terdapat puluhan penjarah sedang beraksi. Nah, apakah karena pengaduan tentang kejadian yang sudah cukup lama itu keselamatan diri saya terancam, tetap jadi target bagi 'orang' tertentu? Ataukah karena wartawan itu menulis nama saya jelas-jelas sebagai narasumbernya? Kayaknya tidak mungkin. Sebab kode etik jurnalistik tetap dipegang teguh oleh semua wartawan.

Sudah dua minggu ini saya menyembunyikan diri. Bosan juga rasanya. Apalagi persediaan makanan sudah habis. Untuk keluar rumah saya takut diciduk. Namun rasa bosan di rumah semakin jadi siksaan bagi diri saya. Jenuh menunggu sesuatu yang tak pasti. Akhirnya saya menemukan alternatif lain untuk tetap bisa keluar rumah dan bisa melihat keadaan di jalan yaitu dengan cara membotaki kepala, pakai topi kupluk ala ABG, kemudian bersembunyi dibalik kaca mata hitam.

***

Matahari siang itu begitu panas menyengat. Saya berdiri di sebuah halte bus. Berbaur dengan para calon penumpang. Di ujung mata memandang, kemacetan ada di mana-mana. Beberapa petugas dari kepolisian berjaga-jaga disudut-sudut jalan. Saya kurang tahu untuk menjaga apa atau siapa? Saya bergerak menuju daerah di mana kami sering mengasongkan dagangan.

Saya berdiri di bawah pohon mahoni, kira-kira seratus meter dari tempat Beno dan Aep menjajakan dagangannya. Didekat lampu merah, saya melihat Gito sedang asyik mengamen dihadapan pengemudi mobil sedan yang kacanya sedikit terbuka. Aep menawarkan koran dan majalah ke beberapa orang yang berada di dalam mobil sedan yang terjebak lampu merah. Beno sedang asyik melayani pembeli majalah yang dijualnya tepat di belakang mobil di mana Gito sedang mengamen. Menoleh ke belakang, saya melihat Marni, si tukang jamu gendong sedang melayani pembeli seorang tukang plistur di depan toko meubel. Marni, si tukang jamu gendong itu pernah saya cium bibirnya di belakang toko meubel itu.

Next