Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Asyik juga pacaran sama tukang jamu, setiap ketemu minum jamu gratis. Jadi anak jalanan banyak asyiknya. Saya sering melihat dua insan di dalam mobil saling berciuman mesra di saat mereka terjebak lampu merah. Pada malam hari, saya pernah ditantang oleh seorang pelacur untuk datang ke tempat kostnya. Nggak bayar, katanya.

Tetapi tidak saya turuti karena saya takut ketularan penyakit kotor. Ada lagi seorang tante mengendarai Honda Civic. Waktu itu mobilnya mogok tepat di depan saya. Saya hampiri untuk menolongnya. Ketika saya bukan kap mesin, ada salah satu kabel delkonya lepas. Setelah saya pasang, mobilnya bisa jalan kembali. Selain uang, saya dikasih kartu nama.

"Kalau mau pekerjaan, datang saja ke alamat ini," tawarnya dengan mata menantang. Senang sekali saya waktu itu. Maka, dua hari kemudian saya datangi alamat yang tertera di kartu nama itu. Tidak sulit mencari alamat perempuan itu. Sebuah rumah yang cukup megah menurut saya, berada di sebuah kompleks perumahan yang jauh dari keramaian kota. Saat itu saya membayangkan akan mendapat pekerjaan yang bisa menopang hidup saya kelak.

Tapi lacur, setelah bertemu, perjaka saya 'dijarah' seharian penuh. Imbalannya adalah duit dalam amplop yang diselipkan ke saku celana jean saya. Kapok? Saya tak bisa menjawab, sebab ketika saya datangi lagi tante yang bernama Farida itu ternyata sudah pindah rumah. Kata penjaga rumah itu tante Farida hanya sebagai penyewa, bukan pemilik rumah. Ah, terkejutlah saya pada waktu itu.

Itulah pengalaman sebagai anak jalanan. Mungkin Beno, mungkin Aep atau anak jalanan lainnya tentu pernah mempunyai pengalaman menarik menurut pribadi masing-masing. Seperti sekarang ini, saya harus bersembunyi dari pencarian sekelompok orang yang konon badannya kekar-kekar, dus bukan orang sembarangan. Saya takut sekali.

Tetapi saya rindu kepada teman-teman seprofesi. Minimal bisa melihat mereka mencari sesuap nasi di tempat biasa kami mangkal. Dan sekaranglah bisa terlaksana, saya bisa melihat mereka berjualan, mengamen dan sebagainya. Sebagai anak jalanan, selain itu saya juga sering melihat kejadian umum dijalanan. Misalnya kecelakaan, pejambretan, anak sekolah tawuran, mobil tabrakan, orang yang tertabrak mobil, jatuh dari bus kota, mahasiswa berdemontrasi, para buruh berunjuk rasa sepanjang jalan dan melakukan long march menuju gedung DPR, itu semua pernah saya saksikan.

Tetapi tak sekalipun saya ikut demontrasi dalam kasus apapun. Namun, kenapa saya harus takut keluar rumah? Tanya saya dalam hati. Beno dan Aep menyampaikannya serius sekali. Mereka seperti tidak main-main. Apa salahnya saya percaya pada mereka. Siapa tahu benar. Dan jika saya diculik, habislah saya. Kalau hanya diculik dan diberi makan setiap hari, itu tak jadi soal. Justru saya senang. Ngapain susah-susah dagang, mendingan diculik tapi kebutuhan dijamin! Kelakar saya dalam hati. Tapi kalau sampai disiksa, bagaimana rupa wajah saya nanti, bisa-bisa cacat seumur hidup. Kalau masih hidup masih untunglah, tapi kalau sampai dibunuh dan mayatnya dibuang di laut, bagaimana jadinya. Saya akan tinggal nama. Keluarga dan teman-teman akan kehilangan saya.

Dan mereka tidak akan bisa menemukan mayat saya. Ke mana mereka akan melapor, pasti bingung. Keluarga saya buta hukum. Namanya juga orang kampung tahu apa?

* * *

Di rumah atau di manapun saya berada, bayangan orang-orang yang ingin menemui saya kian menghantui pikiran. Apa mereka percaya kalau saya tidak tahu apa-apa pada masalah yang bakal mereka tuduhkan kepada saya nantinya? Kalau saya harus dipaksa mengaku padahal saya tidak berbuat, itu berarti saya telah mengkhianati hati nurani saya sendiri. Apa saya mau dijadikan tumbal politik? Mustahil! Terlalu jauh bila sampai ke urusan politik segala.

Sudah satu bulan saya bersembunyi. Merubah penampilan setiap mau keluar rumah. Begitu setiap saya mau melakukan aktivitas di luar. Dan hari ini saya bosan di rumah. Jenuh. Terasa dunia kian sempit dan menciut. Dalam pikiran kalut dan kusut, saya nekat keluar rumah lagi. Mendatangi tempat biasa saya mangkal.

Seperti biasa pula tak ada teman yang mengenali penyamaran saya. Saya berdiri di bawah pohon mahoni, bertopi kupluk dan berkaca mata hitam, mungkin saya persis dengan tampang perampok belum mandi. Masa bodoh! Bising kendaraan berbaur dengan suara pedagang asongan dan suara pengamen yang sama-sama mencari sesuap nasi. Saya amati orang-orang yang berada di lampu merah. Ada Beno dan Aep sedang menjajakan koran dan majalah. Juga beberapa teman mencari sesuap nasi di sekitar halte bus. Barangkali ada orang berbadan kekar seperti intel atau oknum tertentu yang disebut-sebut Beno dan Aep sedang mencari diri saya. Tetapi, sudah duakali ini saya ke tempat itu, belum pernah melihat adanya orang yang tampangnya mencurigakan. Akhirnya saya jadi penasaran, apa benar orang yang disebut Beno dan Aep itu benar-benar ada? Tiba-tiba saya melihat Gito sedang mengamen di dekat lampu merah.

Tanpa sepengetahuan Beno dan Aep, saya panggil Gito. Pada awalnya Gito tak mengenali tampang saya. Tapi setelah saya buka kaca mata dan topi kupluk yang saya pakai, barulah teman saya itu dapat mengenali diri saya sesungguhnya.

"Hai Bima, ke mana saja kau?" sapa Gito setengah berlari ke arah saya.

Saya dekatkan telinga Gito ke mulut saya, "Gito, aku mau tahu, apa benar ada intel mencari aku?" Gito merenggangkan badannya. "Kata siapa?"

"Beno dan Aep," bisik saya lagi. Gito tiba-tiba tertawa lepas. Tapi cepat saya tutup mulutnya. "Ini serius Gito, jangan ketawa kau!"

"Siapa yang mencari kau, heh? Justru aku yang mencari kau ke mana saya selama ini!"

"Jadi nggak ada orang yang mencari aku?" kejar saya penasaran.

"Ah, itu cuma ulah si Beno dan Aep saja supaya kau tak berjualan lagi di daerah ini. Sebab yang kutahu, jika kau tak berjualan di sekitar lampu merah ini, maka tinggal merekalah berdua yang menguasai daerah ini. Paham kau sekarang?"

Deesss terasa dalam pukulan yang dibentuk dari akal Beno dan Aep teman seprofesi saya itu. Sakit hati saya ditipu mereka. Terasa ada darah yang mendidih di ujung-ujung kepalan tangan saya. Saya melihat Beno dan Aep sedang menghitung uang hasil penjualan koran dan majalah yang mereka jajakan di wilayah yang nyaris sepuluh tahun saya tempati untuk menjajakan koran dan majalah yang sama. Satu bulan cukuplah saya ditipu mentah-mentah untuk tak berjualan di situ. Sekarang saya berpendapat, lebih baik mereka menghitung berapa menit lagi bisa menghirup udara kota ini!

****

Jakarta, 1998/2007

Previous