Perut
Cerita Pendek Yanusa Nugroho
Malam larut, pekat, panas seperti ter. Tak ada udara yang mau bergerak, dan orang-orang itu pun seperti kehilangan pikiran.
Sementara laki-laki itu sendiri bahkan tak punya sebatang rokok pun untuk diisap. Kemarin, istrinya marah besar. Mungkin kesurupan roh Betari Durga. Semua dikutuknya. Bahkan tempayan kosong mereka, yang sudah beberapa bulan ini tak sempat terisi apa-apa itu, dikutuknya habis-habisan. Untunglah, kutukannya tidak manjur, sehingga tempayan itu tetap berujud tempayan.
Sesaat dia hanya melihat sekeliling. Panas yang pengab ini tak memberi harapan apa-apa. Suara orang-orang tadarus di surau dan langgar-langgar, terdengar sayup, menyelusup dari celah-celah udara panas. Sampai malam ini, istrinya masih saja mengomel dan mengutuki apa saja yang bisa dikutukinya. Mungkin itulah yang bisa dilakukannya untuk saat ini. Dan laki-laki itu memilih keluar rumah.
Dilihatnya anaknya duduk diam bertelanjang dada. Umurnya baru 6 tahun, tetapi dia sudah menerima kutukan emaknya. Laki-laki itu tak tahu harus bersikap bagaimana. Akan membelanya atau membenarkan ibunya. Dua-duanya salah sekaligus punya alasan yang bisa membenarkan tindakan masing-masing.
Dipanggilnya anak itu. Dan bocah itu pun berjalan ke arahnya dengan langkah gamang. Pasti di benaknya, bukan mulut sang ayah yang akan bicara, tetapi tangan. Aneh memang, mengapa tiba-tiba laki-laki itu merasa mampu dan fasih bicara dengan tangan. "Sini," tegasnya. Dan dia dengan langkah kecil yang ragu-ragu akhirnya mendekat dan duduk di samping ayahnya.
"Belum tidur?"
"Belum ngantuk."
"Kemarin kenapa?"
"Haus."
"Haus? Kok, emakmu sampai meledak-ledak begitu?"
Dia diam. Sebetulnya laki-laki itu sudah tahu akar masalahnya, tapi dia ingin agar anaknya bicara sendiri kepadanya. Laki-laki itu seolah ingin menguji apakah masih ada kejujuran dari mulut seorang bocah.
"Haus, Pak. Aku bilang sama emak, aku haus. Lantas aku cari yang bisa diminum. Terus yang di botol itu aku minum."
"Tapi, itu kan, minyak tanah."
"Tapi aku haus."
"Kamu minum minyak tanah?"
"Iya. Aku haus."
Sekarang laki-laki itu yang diam. Dia kehilangan kata-kata, sebagaimana biasa. Dan sebagaimana biasa, tangannya ingin segera ambil bagian. Tetapi, entahlah, melihat sosok anaknya yang kecil, dekil itu, dia tak bisa apa-apa. Pantaslah, emaknya mengutuk sepanjang hari. Minyak tanah yang harus dibeli dengan harga selangit itu, dengan antrean hampir setengah hari itu, ditenggak tuyul kecil itu sampai tuntas.
"Kenapa tidak minum air saja."
"Nggak enak, Pak. Air nggak ada rasanya."
Laki-laki itu tersenyum dalam hati. Diam-diam dia pun membenarkan ucapan anaknya. Minyak tanah memang lebih nikmat. Di badan memberikan tenaga luar biasa. Dia sendiri pernah meneguk sesendok --tentu saja diam-diam.
***
Dibiarkan anaknya tertidur di balai-balai luar. Kasihan jika di dalam rumah. Selain pengab, ucapan emak akan membuatnya lebih tersiksa.
Orang-orang yang juga duduk di pelataran menunggu angin lewat itu, mendekatinya. Mereka juga tak jauh beda dari laki-laki itu. Pasti mereka sedang disemprot habis-habisan oleh istri masing-masing.
"Kau tahu Bukit Sungsang?" Tiba-tiba Najib meludahkan kata-katanya.
"Pernah dengar namanya, tapi belum pernah ke sana. Ada apa?" jawab laki-laki itu.
"Di kakinya, katanya, ada sekubangan tanah yang bisa dimakan."
Semua terdiam, sebuah gambaran peluang melintas di benak masing-masing. Nikmat betul jika ada tanah yang bisa dimakan, "Tapi, apa tak perlu dimasak?" tukasnya menegaskan.
"Tidak. Raup dan masukkan mulut. Katanya gurih. Ada garamnya."
"O... aku ngerti. Dulu, mbahku juga bikin campuran kerupuk pakai tanah. Kalau ndak salah namanya bleng," ucap entah siapa.
"Mungkin. Aku ingin ke sana. Ada yang mau ikut?"
"Kapan?"
"Kenapa tunggu besok jika bisa dilakukan sekarang?"
"Iya, tapi Bukit Sungsang itu di mana?"
Semua diam kembali.
***
Bumi melengkung kepanasan. Sawah-sawah meruam, mengelupas, pecah-pecah. Sungai-sungai kecil mati kering dengan lidah-lidah terjulur kehausan. Terik kemarau di bulan Ramadan ini membuat laki-laki itu berpikir keras soal makanan. Maaf bila menyinggung perasaan, tetapi, tolong berikan pokok percakapan lain yang paling baik untuk dibincangkan selain makanan.
Maka melangkahlah kaki-kaki orang sekampung. Tentu semuanya laki-laki. Sekelompok manusia yang hanya bisa berpikir soal makan apa. Ah, apa yang salah dengan itu? Dia harus berpikir hanya soal itu, karena jika bukan dirinya, siapa lagi? Jika saja ucapan Najib benar, maka seisi kampung mendapatkan sorga dunia. Bayangkan, tak perlu minyak tanah, beras, bahkan korek api untuk mengganjal perut. Cukup meraup tanah, memasukkannya ke mulut. Kenyang! Hidup!
Ya, ini harus diperjuangkan dan memang pantas diperjuangkan.
***