Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Bukit Sungsang. Sebuah nama yang samar-samar tertinggal di kenangannya. Nama yang hanya sering muncul lewat cerita bapak, kakek atau orang-orang tua di kampung ini. Di mana persisnya, dia sendiri belum tahu, dan rasanya, mereka --orang-orang dalam rombongan ini-- juga tak lebih tahu.

Tapi, persetan dengan semua pengetahuan. Perut akan menuntun kita ke mana makanan bisa didapat. Bahkan semut pun mampu mengendus makanan. Juga kumbang, larva dan apa pun yang di muka bumi ini mampu mengendus makanan, mengapa manusia tidak?

"Rasanya itu…," ucap Najib yang berjalan di depan. Dia menghentikan langkah. Semua yang ada di belakangnya pun berhenti. Mata mereka terpaku pada sosok bukit yang entah mengapa menurut mata mereka aneh bentuknya. Seharusnya, bukit mengerucut, mirip gunung dengan ukuran lebih kecil tentu saja. Ini tidak.

"Mirip gada," komentar salah seorang.

"Iya, ya. Kok, kayak ketimun."

"Hus! Ketimun nggak gitu. Itu gada."

"Itu Bukit Sungsang," tandas Najib yang segera melanjutkan langkah.

"Jib, jangan buru-buru ke sana ," cegah Ngatiman.

"Kenapa?"

"Biasanya, tempat aneh seperti itu, ada 'penjaganya."

Ucapan Ngatiman menghentikan langkah semuanya, sekali lagi. Tak jelas, sebetulnya, apakah karena takut atau alasan lain. Yang jelas mereka akhirnya berhenti pada jarak tertentu.

Tetapi, tanpa alasan yang jelas pula, tiba-tiba Najib melangkah dan mereka pun ikut melangkah, termasuk Ngatiman. "Tanggung jawab lho Jib," ujarnya cemas.

***

Dunia adalah lempengan tegak lurus, yang harus dititi dengan hati-hati. Mereka merayap perlahan, dan tak boleh ada kesalahan. Kesalahan hanya punya satu muara: kematian. Maka, dengan harap-harap cemas, para lelaki itu mendekati Bukit Sungsang. Kian dekat dengan kaki bukit itu, degup jantung mereka kian menguat.

"Itu... itu…yang menggunduk di tanah lapang itu..."

"Apa mungkin itu tanah yang dimaksud?"

"Mungkin."

"Terus gimana?"

"Ya, kita coba."

Maka bergegaslah kelompok itu mendekati gundukan tanah halus kecoklatan, agak basah di tanah lapang. Mereka kemudian jongkok berkeliling, mengamati gundukan tanah yang sekilas warnanya mirip gula Jawa itu. Seseorang kemudian menutulkan telunjuknya. Yang lain mengawasi. Jari itu masuk mulut. Semua mata mengikuti. Mulut yang komat-kamit, lalu menelan. Semua mata terpaku, jakunnya turun-naik.

"Enak..."

Maka, tanpa komando, para lelaki yang mengepung gundukan tanah itu meraup tanah dan memasukkannya ke mulut. Pipi menggembung, kecap mulut berkeceplak rakus. Keriangan dan kenikmatan membias di wajah mereka. Lidah mereka mencecap rasa gurih yang nikmat.

"Seperti keripik kelapa, ya…"

"Pernah makan, memangnya..?"

"Belum."

Dan mereka pun tak mau tahu lagi jawaban apa yang pantas keluar untuk setiap pertanyaan. Mereka hanya mau makan dan makan.

***

Senja meredup. Merah menembaga. Serombongan lelaki pulang, masing-masing memanggul buntalan tanah di pundak. Mereka berjanji bahwa esok akan kembali dan membawa makanan itu lagi. Malam itu sekampung kenduri tanah. Tanah makan tanah, sebelum kembali menjadi tanah.

***

Lima hari lagi Lebaran. Para lelaki tak pernah menghitung hari. Mereka sepakat akan ke bukit lagi. Tak perlu minyak tanah. Tak butuh api. Tak usah beras. Perut mereka kenyang makan tanah. Cukup sudah kebutuhan hidup. Maka, berkemaslah mereka membawa pikulan bambu.

Namun, begitu langkah mereka tiba di kaki bukit, betapa terkejut mereka ketika dilihatnya bukit itu dijaga tentara. Senapan mereka laras panjang dan mustahil tanpa peluru. Sebagai penemu, mereka merasa berhak. Meskipun moncong senjata yang mereka ajak bicara, para lelaki itu berkeras mempertahankan isi perut mereka.

"Ini sumber makanan kami," teriak Najib seakan mewakili kawan-kawannya.

"Ini pertambangan negara. Siapa pun dilarang menambang di sini."

"Kami nggak cari apa-apa, cuma tanah itu. Itu makanan kami, Pak."

Komandan penjaga mengerutkan dahi. Dia sadar hanya akan menghadapi orang kurang waras. Kelaparan membuat pikiran terbalik. Dia pun memberi aba-aba agar membiarkan saja orang-orang itu berlalu. "Awas, kalian tidak boleh memasuki batas ini," ucapnya sambil menunjuk pada tanda larangan.

Para lelaki itu tak menjawab. Mereka hanya ingin segera menggali makanan mereka dan membawanya pulang. Tentu saja, setelah sebelumnya mereka berkenduri di kaki bukit itu. Para penjaga itu terlongong-longong ketika mata mereka menyaksikan kenikmatan para lelaki itu menyantap tanah. Ada yang menjilati jari-jari mereka sendiri, layaknya membersihkan sisa bumbu gulai kambing di sela-sela jari. Ada yang besendawa besar, lalu mematahkan lidi, mengorek-ngorek mulut, seolah mencongkel sisa daging terselip di gigi.

Komandan penjaga bergidik. Perlahan dia memerintahkan anak buahnya mundur teratur. Pemandangan yang disaksikannya benar-benar tak masuk akal. Melihat para penjaga itu mundur, salah seorang yang melempar-lemparkan butiran tanah kecil ke mulutnya seakan makan kacang bawang, segera memanggil dan mengajaknya bergabung. Panggilan itu rupanya terdengar lebih menyeramkan daripada lolongan srigala di malam hari, dan itu membuat para penjaga daerah pertambangan itu pontang-panting.

"Hahahahaha... orang bego, diajak makan, malah mabur…," ujar salah seorang.

"Biar saja, perut mereka tak bisa makan tanah."

"Lidah mereka sudah keriting. Hahahaha…biar saja. Yang penting, kita sudah menawari mereka, kalau tak mau, ya, salah dia... Ayo, lho.. jangan malu-malu," ucapnya sambil mencolek tanah dan menjilati layaknya menjilati semangkok gulai kambing.

***

Entah sekarang, apa yang terjadi dengan desa itu, tak ada yang peduli. Para penjaga yang pernah ditugaskan di daerah pertambangan emas milik negara itu dianggap orang gila, lantaran mewartakan ada kelompok manusia yang makan tanah mentah-mentah. Itu sebabnya aku tertarik dengan fenomena ini. Aku justru ingin menemui salah seorang penjaga itu dan mengajaknya ke wilayah itu.

Aku ingin tahu, bagaimanakah struktur jaringan perut mereka, sehingga bisa menerima dan mencerna tanah. Perut yang bisa menghancurkan besi, sudah ada di jurnal-jurnal, tetapi tanah? Ini sebuah fenomena menarik. Aku harus mengambil sampel perut mereka, membawanya ke lab dan menelitinya. Mungkin, ini akan menjadi sebuah solusi penting bagi dunia. Dan, barangkali saja, aku bisa merumuskan dan bahkan memproduksi semacam tablet yang bisa membantu lambung dan pencernakan manusia, sehingga mampu mengonsumsi apa saja; termasuk tanah mentah. Aha, sebuah ide menarik. Perut, pengendali utama ras manusia. Dan, sesungguhnya, inilah yang mengendalikan peradaban. Hahaha…

***

Pinang , 982

Previous