Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Tasbih dari Gunung Slamet

Cerita Pendek Sigit Emwe

Mbah Muslich masih memegangi jenggotnya yang telah beruban, tangannya pelan membelainya. Perlahan ia memperbaiki posisi pecinya yang agak kurang pas dirasaknnya. Kembali matanya tertuju pada koran pagi ditangannya. Dalam halaman yang dibacanya terdapat berita tentang kematian seorang istri kyai secara khusnul khotimah yaitu saat mengerjakan shalat. Mata Mbah Muslich jauh menerawang ke atas atap rumahnya yang buat dari jerami kering. Dalam-dalam ia hisap asap tembakau yang ia nyalakan berapa menit yang lalu. Dimejanya yang terbuat dari bambu tampak sebuah asbak terbuat dari tanah liat penuh dengan putung-putung rokok yang dihisapnya. Mbah Muslich tampak begitu gelisah, sekali-kali batuknya membuat tubuhnya terguncang dari posisi duduknya.

***

Walaupun menyandang gelar Haji dan memiliki kelebihan indera keenam yaitu mengetahui apa yang tidak diketahui orang lain atau orang biasa menyebutnya ngarti sadurunge weruh, Mbah Muslich tetap lah Mbah Muslich yang dulu. Hidup dalam kesederhanaan dan kesendirian. Mbahi Muslich hidup seorang diri. Sebenarnya keponakannya pernah tinggal bersamanya sejak kecil, namun nasib berkata lain keponakannya yang berkerja sebagai pengrajin tasbih mati secara tragis dengan gantung diri di pohon manggga di depan rumah Mbah Muslich yang berada tepat di bawah kaki Gunung Slamet. Sejak kematian keponakannya Mbah Muslic memilih hidup membujang, apalagi anak, istripun ia tak punya. Meskipun tanahnya amatlah luas, Mbah Musich enggan untuk mencari pendamping hidup. Sebenarnya Mbah Muslich bukan lelaki yang membenci perempuan, namun ia merasa bahwa dirinya takkan mampu membahagiakan perempuan.

Dulu ibu Mbah Muslich adalah seorang janda kaya, ia ditinggal mati suami tercinta dalam perang kemerdekaan. Waktu itu bapak dari Mbah Muslich adalah seorang pejuang yang gigih memperjuangkan kemerdekaan. Pada suatu malam ia bersama pasukannya tengah melakukan patroli untuk menjaga keamanan desanya. Tiba-tiba sebuah bom meledak tepat didepannya. Tubuhnya terpental kaki dan tangannya terpisah dari tubuhnya. Sejak itulah Muslich kecil menjadi anak yatim.

Kehidupan menjadi anak yatim menempa Muslich kecil menjadi orang yang tahan banting. Hidup dalam kasih sayang ibunya membuat Muslich kecil begitu menghargai perempuan. Dari figur ibunya lah Muslich memiliki pandangan tersendiri terhadap perempuan.

Seekor kucing belang yang turun dari atas meja membuyarkan lamunan Mbah Muslich. Sesaat Mbah Muslich menghisap dalam-dalam rokok terakhir sebelum membuangnya ke dalam asbak. Mbah Muslich beranjak dari tempat duduknya, Ia berjalan menuju sebuah sudut ruangan dan mengambil Al-Quran dari dalam lemari.

Tiba-tiba terdengar orang mengucapkan salam dan beberapa saat kemudian terdengar suara orang mengetuk pintu rumah Mbah Muslich. Suara itu semakin keras, seperti begitu tergesa-gesa. Mbah Muslich memasukan kembali Al-Quran ke dalam lemari dan meletaknnya di atas tempatnya. Mbah Muslich kemudian berjalan menuju ke arah pintu untuk membuka dan mengetahui siapa yang datang.

Seorang kakek tua berdiri di depan Mbah Muslich. Pakaiannya serba putih, dengan sorban putih dikepalanya. Ternyata Mbah Ronggo yang datang bertamu kerumah Mbah Muslich. Tampak wajah tua yang berkeriput Mbah Ronggo begitu pucat dan pasi, ada kecemasan tergambar dari raut wajahnya.

“Ada gerangan apa saudaraku berkenan berkunju ke gubugku ini” tanya Mbah Muslich sambil mempersilahkan Mbah Ronggo masuk ke dalam rumah dan mempersilahkan Mbah Ronggo untuk duduk.

“Maafkan aku, jika kedatangan jasad ini mengganggu kekhusuanmu” jawab Mbah Ronggo.

“Ada gerangan apa yang membuat saudaraku, berkenan hadir dalam wujud wadag ini, sepertinya ada masalah teramat penting engkau bawa kepadaku” Mbah Muslich menerka maksud kedatangan Mbah Ronggo.

“Tentu saudaraku lebih tahu, dan bisa meraba masalah apa yang aku bawa untukmu” jawab Mbah Ronggo singkat.

“Jika masalah itu, pastilah saudaraku lebih mumpuni dalam menyelesaikannya, namun marilah kita bahas masalah itu dengan lebih bijak dan lebih arif” ucapan Mbah Muslich terdengar datar.

Next