“Kehidupan ini semakin tua, kita semakin di makan usia, namun banyak yang belum bisa kita lakukan untuk menjaga keseimbangan alam ini” kata-kata dari Mbah Ronggo keluar penuh makna.
“Itulah yang meski kita lakukan, cobalah saudaraku, bawa tasbih ini dan berikan kepada putramu, biarkan ia menyelesaiakan persoalannya, Inssa Allah masalahnya akan terselesaikan” Mbah Muslich mengambil tasbih dari lehernya dan memberikan kepada Mbah Ronggo.
Tasbih berwarna kuning keemasan. Dengan tulisan Allah pada tiap butirannya. Kini telah ada di tangan Mbah Ronggo. Tanpa waktu yang lama Mbah Ronggo memohon pamit kepada Mbah Muslich.
Di pesantrennya Gus Maktum tampak begitu gelisah, ia tengah menunggu kedatangan bapaknya. Berapa saat kemudian terdengar salam dari luar pesantren. Yang datang ternyata Mbah Ronggo. Tanpa berpanjang kata Mbah Ronggo memberikan tasbih pemberian dari Mbah Muslich kepada putranya Gus Maktum.
Tampak wajah berseri-seri terpancar dari wajah Gus Maktum. Berulang-ulang diciumnya tangan Mbah Ronggo. Ekspresinya seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan dari bapaknya.
“Anakku, sekarang temuilah istrimu dan berikan apa apa yang menjadi keinginannya” perintah Mbah Ronggo kepada Gus Maktum.
Tanpa berpikir lama Gus Maktum menuju kamar di mana istrinya tengah duduk termenung. Tampak mata yang sembab dari sepasang mata yang indah milik istrinya. Seolah istrinya berusaha menahan kesedihan yang ia sembunyikan.
“Istriku, ini tasbich bertuliskan lafal Allah dari gunung Slamet seperti persyaratkan yang kau ajukan kepadaku agar aku bisa menikah lagi” Gus Maktum menunjukan tasbih itu kepada istrinya.
Dengan tangan sedikit gemetar istri Gus Maktum menerima tasbih tersebut. Dipandangnya tasbich itu dengan mata berkaca-kaca. Pikirannya melayang pada seorang pemuda dusun di bawah kaki Gunung Slamet yang berprofesi sebagai pengrajin tasbih. Betapa perasaan bersalah muncul dalam hatinya ketika tanpa alasan yang jelas ia harus meninggalkan dusunnya dan pemuda tercintanya itu untuk menikah dengan Gus Maktum seorang putera dari Kyai Terkenal di Jawa Timur.
Pesta perkawinan Gus Maktum dengan istri keduanya digelar cukup meriah di pondok pesantren Gus Maktum, ada bend ternama yang dulu menjadi santri di pesantren itu di undang meramaikan pesta pernikahan itu. Selain itu kelompok hadroh dan para pemusik kasidah pun tak mau ketinggalan menyubangkan karyanya sbagai wujud ketakdiman kepada seorang guru.
Malam semakin larut, Gus Maktum tampak begitu lelah menyambut tamu-tamu yang datang dari kota-kota dan pesantren-pesantren lainnya. Begitu juga kelelahan tampak menyelimuti istri kedua Gus Maktum yang berdandan layaknya seorang artis. Hanya saja menggunakan Jilbab, sehingga kemenorannya berdandan sedikit tertutupi. Gus Maktum da istri keduannya hendak beristirahat, mereka menarik diri dari keramaian pesta dan bergegas menuju ke dalam kamar.
Tiba di dalam kamar, tiba-tiba istri kedua Gus Maktum menjerit histeris, tubuhnya tampak lunglai. Dihadapnnya terlihat sosok wanita dengan mengenakan pakaian shalat tampak bersimbah darah. Gus Maktum melihat istri pertamanya telah tak bernyawa dengan goresan di urat nadi tangannya. Dalam genggaman tangannya tampak tasbih berlafalkan nama Allah telah berwarna merah. Gus Maktum tak bisa berkata apa-apa, tubuhnya lemah. Kedua kakinya terasa terpaku di atas bumi. Begitu kaku.
***