Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Merisik Calon Istri

Cerita Pendek R. Dachroni

Seorang gadis melenggak-lenggok berjalan dan melintas di depan mata Azizah. Gadis itu melemparkan senyum kepadanya. Dia pun membalas senyuman itu dengan membuka mulutnya sedikit hingga gigi serinya tampak nyata. Setelah gadis itu jauh dari pandangan, dilihatnya Aminah tak jauh dari tempat ia duduk di suatu ruangan.

Dia rasa Aminah tahu tentang gadis yang telah mencuri perhatiannya itu. Sebab sebelum Aminah masuk ke dalam rumah, gadis itu berjalan bersama dia dan suaminya. Mungkin anaknya, dugaan Aziizah sementara. Akan tetapi, sepengetahuan dia enam anak yang dilahirkan Aminah berjenis kelamin pria. Mana mungkin itu anaknya. Mungkin itu anak angkatnya, lagi dia menduga. Namun, batinnya seakan tak percaya. Berpuluh-puluh tahun dia mengenal Aminah, tak pernah dia mendengar Aminah mengadopsi anak perempuan.

Seperti ada kontak jiwa dengan Azizah, Aminah yang berada beberapa langkah dari Azizah berjalan menuju ke arahnya. Hingga jarak di antara keduanya tinggal satu langkah. Keduanya kini bertatapan. Saling melemparkan senyum. Senyum Aminah menguatkan ingatannya dengan seorang gadis yang tersenyum kepadanya beberapa menit yang lalu. Spontan saja dia bertanya,

"Gadis yang baru saja lewat tadi tu, anak siapa?"

"Yang mana"

"Gadis yang datang bersama awak, tu lah. Dia tu anak awak ke?".

"Oh yang itu, dia tu bukan anak kami".

"Lantas anak siapa?,"

"Dia itu anak Sus, adik kami, memangnya kenapa, Kak?"

Azizah tersipu malu. Dua buah perkiraannya tak ada yang benar. "Ada apa dengan Kak Zizah. Tiba-tiba saja wajahnya sedikit memerah ketika aku bertanya demikian," Aminah membatin. Dia tak berani mengungkapkan isi batinnya apalagi menggesa Kak Zizah untuk menjawab. Namun, prasangkanya segera berjalan dan telah berani menebak maksud pertanyaan.

"Jangan-jangan, Kak Zizah mau menjodohkan anaknya dengan anak Sus" batinnya menduga. Dugaan Aminah bukan tak beralasan, mengingat ketiga anak prianya Kak Zizah belum ada yang menikah. Mungkin, pacaran sudah pernah. Dia lebih memilih bungkam untuk beberapa menit hingga Kak Zizah yang masih mempunyai tali persaudaraan dengannya itu buka mulut.

"Eh, dia tu dah ada yang punya tak,".

"Setahu saya tidak, ada apa kak?".

"Aku berkenan dengan anak tu, engkau mau tolong aku?"

"Selagi saya mampu mengapa tidak,"

"Tolong lah risikkan, cari tahu secara pasti apakah dia sudah ada yang punya, kalau belum aku mau dia menjadi pendamping anakku"

"Untuk anak kakak yang mana?"

"Ya, untuk siapa lagi, kalau bukan untuk anak aku yang sulung tu lah,"

"Baiklah, nanti kalau saya sudah dapat informasinya, saya telepon kakak,".

Dalam perjalanan pulang, Aminah asik tersenyum sendiri. Sang suami heran, tetapi tak mau bertanya apalagi memberi kritik. Biarlah, anggapnya, mungkin hatinya lagi senang. Bisa jadi fertigo-nya kambuh kalau sang suami memotong kebahagiannya itu.

Setibanya di rumah Aminah langsung mengabarkan kepada suaminya tentang niat Kak Zizah untuk merisik keponakannya itu. Dan nanti malam, dia mengajak suaminya untuk bersama-sama mencari sebuah kepastian. Bukan prasangka yang membuat manusia sering salah menafsirkan sesuatu yang bermula dari dugaan semata, melainkan investigasi mendalam layaknya seorang wartawan tabloid mingguan dalam mewawancarai seorang informan.

Sang suami menyambut gembira dan mengamini permintaan istri yang telah melahirkan enam orang anak itu. Dan, kini gantian sang suami yang tersenyum mendengar keponakannya mau dirisik alias penjajakan tahap pelamaran. Tapi, senyumya sejenak terhenti, memikirkan sesuatu yang sebenarnya antara penting dan tidak penting untuk dipikirkan. Pikiran aneh itu membuat hati Aminah yang tengah duduk di sofa bertanya, lantas mengeluarkannya lewat suara, "Mengapa, Bang?"

Kaget, sang suami terjaga dari pikiran yang telah membawa dia ke alam mimpi, ah, mungkin lebih tepatnya lagi di alam lamunan. "Setahu saya Era itu kan belum punya pacar otomatis itu merupakan lampu hijau buat kita. Tapi, bagaimana dengan Yusuf, bapaknya. Mau nggak menerima,". Ungkapan yang pesimis itu tak menyurutkan semangat Aminah, malah Aminah semakin optimis. Dan dia tetap tak memperdulikan apa yang terjadi nanti, yang penting niat baiknya itu akan dia tuangkan dengan lugas malam nanti.

"Bang, saya rasa itu bukan halangan terberat. Yang menjadi halangan terberat anak-nya itu mau atau tidak. Dia kan belum pernah melihat wajah anak Kak Zizah,". Si suami hanya menggelengkan kepala. Diam, tak memberi komentar, tetapi hati istrinya tetap bulat untuk mengutarakan isi hati Kak Zizah. "Lihat saja nanti" si suami tampak pasrah.

***

Next