Malam pun tiba, Aminah menagih janji kepada sang suami untuk menemaninya ke rumah Sus adiknya. Tak ingin menambah dosa karena mengingkari apa yang telah diucapkannya siang tadi, si suami bergegas mengganti celananya dengan sarung sembari mengambil senter di kamar. Maklum, suasana malam sedang gelap gulita. Tak jauh jarak antara rumah Aminah dan Sus. Sekitar 25 langkah dari rumahnya.
"Bagaimana ya, kira-kira ponakanku itu mau nggak ya," buka suami di tengah perjalanan.
Awak (kamu) jangan pesimis, Aminah mengancam, sekarang kita hampir tiba di depan teras, jangan berbicara terlalu keras, nanti keburu diketahui. Jadi, berita ini bisa nggak kejutan lagi buat mereka.
"Assalamualaikum," ucap Aminah dan suaminya ketika berada di depan pintu.
"Waalaikumsallam" jawab Sus dan suaminya.
Bagi Sus dan suaminya, kedatangannya kakak sulungnya malam itu merupakan hal aneh, sehingga keduanya saling melirik sembari menyuruh kakak dan abang iparnya masuk. Dan ucapan basa-basi itu belum komplit kalau tidak ditambah dengan kata duduk. Aminah dan suaminya saling melirik dan Sus beserta suaminya semakin merasa aneh.
Tahu akan keanehan itu, keempat orang anaknya yang semula berada diruang tengah berdekatan dengan ruang tamu masuk ke markasnya masing-masing. Entah mengapa, mereka yang rajin menguping kala itu, segera menyingkir karena telah menebak ada ungkapan rahasia yang dibawa oleh om dan tantenya itu yang tidak boleh mereka dengarkan. Bukan karena mereka tak bisa menyimpan rahasia keluarga, tapi perasaan lah yang membawa mereka untuk tidak mendengar apa saja yang akan dibicarakan nanti
Sus dan suaminya duduk bersebelahan, menatap dengan kakak dan abang iparnya. Saling tersenyum sebelum melakukan pembicaraan. Aminah menoleh ke suaminya. Dia menaikkan alis matanya. Apa maksudnya. Suaminya belum mampu menangkap ungkapan kata yang diucapkan dari salah satu bagian organ tubuh. Aminah tak kehabisan akal. Supaya suaminya mengerti dia menggunakan telapak tangan dan mengayun-ayunkannya.
Akhirnya suaminya tahu, kalau istirinya menyuruh dia untuk mengawali pembicaraan. Tak panjang mukadimah yang suaminya paparkan, kebetulan basa-basi juga tak diperlukan untuk membahas masalah ini.
"Kemarin, kami berjumpa dengan Kak Zizah," buka suami Aminah.
"Lalu," suara suami Sus curiga.
"Kak Zizah bertanya kepada kami, apakah Rara sudah ada yang punya".
"Maksudnya pacar," Aminah menyambung.
"Kalau sudah mengapa dan kalau belum mengapa," tegas suami Sus.
Pasangan enam orang anak ini terdiam beberapa saat. Penegasan ini semula mereka anggap sebagai tekanan sekaligus penolakan terhadap pertanyaan yang mereka ajukan. Dan mereka tidak ingin membuat suasana menjadi tak nyaman. Mereka juga tak mau larut dalam lembah emosi karena ucapan miring yang sedikit membuat hati mereka teriris.
Karena bermaksud untuk menyampaikan amanah, ucapan itu pun tak mungkin untuk mereka gubris, Suami Aminah menanggapinya dengan dingin, "Intinya begini, Kak Zizah ingin menjodohkan anaknya dengan anak kalian. Kalau Rara sudah ada yang punya berarti batallah perjodohan ini, tetapi kalau belum Kak Zizah akan meneruskan proses merisik ini,".
Suami Sus tercengang. Bingung tak karu-karuan. Sus sendiri malah tenang. "Aduh gimana ya? dia kan masih muda. Rasa-rasanya dia belum pantas untuk menikah," tutur Suami Sus dalam keraguan.
"Umurnya sudah berapa sekarang?" tepis suami Aminah. Saking bingungnya suami Sus tak mengetahui dan tak berhasil mengingat berapa umur anak gadisnya itu. "Umur Rara berapa ya Sus?" tanyanya. Dengan tegas Sus menjawab 25. Aminah dan suaminya tercengang. Umur 25 dikatakan belum pantas untuk menikah. "Jadi, di usia keberapa Rara akan menikah," suami Aminah menyerang. Sus dan suaminya tak kuasa menjawab. Mereka salah tingkah dan mulai gelisah.
Meskipun begitu, Sus dan suaminya tak mau bertindak otoriter kepada anaknya. Dia ingin menanyakan terlebih dahulu kepada anaknya, walau dia ketahui dengan pasti dia belum ada yang punya. "Tengoklah nanti, apakah Rara-nya mau dijodohkan. Keputusannya sekarang bukan di tangan kami, tetapi ada sama Rara sendiri," ungkap suami Sus dengan bijak.
"Kalau begitu, baiklah. Hari pun sudah semakin larut. Kami permisi sekarang, mau pulang,". Sus dan suaminya mengantarkan kakak dan abang iparnya hingga di depan teras. Kepulangannya mereka meninggalkan sekelumit persoalan yang bisa menyenangkan dan menyakitkan. Menyenangkan apabila anak mereka menyetujui calon yang memang mereka anggap pantas untuk mendampingi anaknya. Menyedihkan kalau anaknya menolak, tetapi mereka tidak mau memaksakan kesenangan mereka dengan mengorbankan anaknya.
Untuk itu, setelah Aminah dan suaminya melangkah jauh Sus dan suaminya memanggil Rara untuk duduk bersama di ruang tamu dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Rara terlihat malu-malu ketika mendengar penjelasan kedua orangtuanya itu. Namun, dari rasa malu-malu itu. Ayah, demikian Rara memanggil bapaknya telah mengetahui kalau anaknya itu suka, meskipun belum memandang wajah sang pria Setidaknya, ini adalah lampu hijau baginya. Sejak dia sepakat hampir setiap hari Sabtu dan Minggu anak sulung Azizah bertandang ke rumahnya. Dari Minggu ke Minggu, bulan ke bulan hingga mencapai waktu 2 tahun mereka pacaran. Akhirnya, mereka meningkatkan status mereka melalui proses resepsi pernikahan.
***