Mengira Asa Pojok Nagoya
Cerita Pendek Lisya Anggraini
Aku, dipanggil Andika. Teman-teman di kampung bilang cukup ganteng, ehem…. Katanya, mirip orang India . Aha! Aku pun mesem-mesem kesenangan. Lalu mengaca di cermin lemari kamar. Dan ehem…benar juga, mirip juga dengan Shah Rhuk Khan. Yang filemnya aku pernah nonton beberapa kali di televisi, Kuchi-kuchi hatae… Mana lah tahu pula, nanti aku bisa top seperti dia. Banyak uang, terkenal, dan selalu menjadi jagoan yang murah hati. Ahai!
Dan…teman-teman perempuan di sekolah pernah memuji, aku juga berperangai seperti itu. Makanya mereka menyenangiku, apalagi si Bety yang rambut panjangnya suka dikepang dua. Dia memang lucu dan paling baik. Sesekali menawarkan goreng pisang yang dibawanya ke sekolah untukku. Kami pun suka manikmatinya berdua di teras belakang sekolah, ketika jam istirahat. Dan akan bubar kalau ada teman memergoki. Malu juga disebutkan orang kami pacaran, soalnya kan masih kelas empat SD. Mana boleh! Tapi diam-diam aku suka sekali kok, apalagi kalau Bety tersenyum. Dia seperti bidadari. Namun beberapa teman perempuan lainnya ada yang jadi manyun padaku.
Tapi itu, dulu. Kenangan nun jauh di kampungku. Kini, malam ini, aku tengah merasa bosan menjalani apa pun. Apalagi untuk mendekati orang-orang yang sedang makan di deretan kursi kedai makan Cak Um itu. Memilih duduk lesehan saja di lantai sebuah toko yang sudah ditutup sejak sore. Dan lumayan, ada mobil yang parkir, sehingga aku tidak terlihat dari orang lalu lalang atau yang sedang makan itu. Kecuali bila mereka benar-benar memperhatikan pojok ini. Sementara aku bisa bebas melihat apa yang sedang terjadi tak jauh dari depanku itu.
Uang yang kudapat baru tiga ribu rupiah, upah menyemir sepatu seorang perempuan di kedai makan Cak UM tadi sore, malas masih menahanku beranjak dan mencari tambahan isi kantong.
Ruli, Amir dan Ujang, nampak sedang mendekati orang-orang yang sedang makan dengan lahap sajian Tahu Tek, mungkin juga Soto Ayam. Mereka menawarkan jasa untuk menyemir sepatu. Amir ditolak dengan cara menggeleng cepat tanpa dilihat sedikit pun. Ah, kasihan. Tapi, aku juga sudah terbiasa diperlakukan begitu. Sedangkan Ujang mendekati sepasang lelaki dan perempuan muda. Sekilas, pasangan itu melirik padanya, tapi kemudian menggelengkan kepala. Artinya tak berhasil, tapi lebih baik karena lelaki muda itu menolak dengan senyum. Ujang pun beranjak.
Sekarang si Ruli. Nasibnya paling sial kali ini. Penawarannya semirnya pada seorang lelaki yang agak tua, dibalas kasar dengan mengibas-ngibaskan tangan. Seperti mengusir nyamuk yang menganggu kenyamanannya. Ruli beranjak dari lelaki itu. Namun masih punya keberanian mendekati seorang yang lain. Dan tetap ditolak. Ruli mungkin bosan, ia pun beranjak mendekati gerobak Cak Um. Menyempil duduk. Sepertinya menghibur diri dengan menyaksikan anak buah Cak Um, menggoreng Telur Dadar. Sedangkan, Amir bersama dengan Ujang masih punya semangat menawarkan semirannya kepada sekelompok ibu-ibu muda. Meski tetap saja ditolak.
Ah, kenapa ya, belakangan ini jarang orang menyemir sepatunya. Seandainya saja, semua orang pakai sepatu terbuat dari kulit dan semua orang malu jika sepatunya tak berkilat, tentu tak susah mendapatkan duit.
Amir dan Ujang menyusul ke bangku tempat Ruli tengah duduk melamun. Mungkin berbagi kekecewaan, karena malam ini belum ada langganan yang menerima jasa semiran mereka?
“Ah, ada untungnya juga aku di sini, ikut dengan mereka bakal ditolak juga…”
Tak lama berselang, empat orang baru datang ke kedai makan Cak Um. Aku masih tak mau beranjak. Sungguh! Kulihat Ujang, Amir juga Ruli yang duduk dekat gerobak Cak Um, melirik cepat ke arah rombongan itu. Tapi mereka masih menahan diri. Itu adalah ketentuan yang mereka buat bersama. Bahwa orang yang baru datang tidak boleh langsung diserbu. Melainkan harus dibiarkan dulu mengambil tempat duduk, dan dibiarkan pula pegawai kedai makan Cak Um menawarkan sajian. Setelah mereka memesan makanan dan pegawai Cak Um beranjak menyiapkan pesanan, barulah boleh mendekat. Selain itu, bila pembeli sedang makan, tak boleh pula diganggu. Tunggu hingga mereka selesai. Aturan itu memang dibuat sesuai keinginan Ujang. Namun Amir sesekali melanggarnya, dan sebagai akibatnya Ujang menekek (menjitak) kepalanya.