Nampak Amir, Ujang dan Ruli serempak bergerak ke arah empat orang yang telah selesai memesan makanan dan kini tengah mengobrol. Ini saat yang tepat! Amir yang mendekati seorang di antara mereka, mulai menawarkan semiran. Ujang mendekati yang lain, juga Ruli. Kelihatannya nasib baik ada pada Ruli. Lelaki yang didekatinya menerima tawaran. Sesigapnya Ruli menyerahkan sandal dan menunggu lelaki muda itu membuka sepatu.
Sementara Ujang dan Amir masih belum bernasib baik. Meski begitu, ia senyum pada Ruli, “Oke Coy...!” celotehnya.
Aku seperti melihat diriku bersama mereka. Karena memang selalu begitu, sejak sebulan yang lalu. Mereka berteman denganku, karena sering bertemu di tempat ini. Meski sebelumnya mengajak aku bertengkar. Mereka marah, kehadiranku dinilai menyabet langganannya. Mereka mengatakan tempat itu jadi milik mereka. Untung saja Cak Um menengahi dan mengancam jika masih bertengkar, semua mereka tak boleh menjajakan semiran sepatu di kedainya. Soal rezeki kata Cak Um, sudah diatur oleh yang Kuasa. Mahluk hanya berusaha. Jika kerja keras dan tidak iri dan dengki, rezeki ikut mengalir. Cak Um janji, jika mereka menerimaku, tak akan ditambah lagi penyemir lain di tempat itu. Jadi, hanya berempat dengan mereka. Dewa kebaikan datang malam itu, Cak Um yang belum ku kenal menyelamatkanku. Aku diterima mereka dan persahabatan kami lambat-laun dimulai.
Setelah itu, setiap sore kami berempat bertemu di sini. Menunggu pembeli datang ke kedai Cak Um dan menawarkan semiran sepatu. Pengharapan kami sama dengan Cak Um. Semakin banyak orang ke kedai itu, semakin banyak pula kemungkinan rezeki. Meski beda jualannya. Jualan Cak Um, Tahu Tek, Soto dan Ayam Penyet yang selalu membuat air liurku berlinang. Sedangkan kami, membuat sepatu mereka menjadi berkilat.
Langganan Cak Um adalah calon langganan kami pula. Dan memang ada pula yang telah menjadi langganan tetap kami. Seperti Bang Jum, yang baik. Sama-sama seasal Sumatera Barat. Hanya saja dia dari Padang, sedangkan aku dari Bukitinggi. Bang Jum suka banyak nanya ini itu, ketika aku menyemir sepatunya. Aku tak berani banyak cerita, hanya jawab ala kadarnya. Kadang malah bohong. Meski aku tahu itu salah dan berdosa. Tapi aku juga takut salah ngomong. Kadang bohong juga diperlukan untuk menyelamatkan diri. Dari pada menambah persoalan lagi dengan perempuan tua yang kupanggil Nenek itu. Yang telah mengubah impian ku jadi mengawang di langit, sejak Batam yang dijanjikannya surga, justru menjadi perjalanan terjal dengan omelannya!
Beda sekali dengan Amak. Ah, Amak sedang apa, ya? Mengajar membaca adikku si Puput yang kelas dua SD dan masih saja cadel? Atau memarahi Ical? Karena adikku yang satu itu memang bandel. Ada saja yang tingkahnya membuat Amak marah. Di sekolah juga payah. Semestinya harus naik kelas tiga, tapi ia gagal. Dan mesti sekelas dengan Puput di kelas 2. Ah, moga saja tahun ini ia tidak tinggal kelas lagi.
Ah, Amakku. Aku jadi ingat bagaimana ia menepuk-nepuk bahuku di kala aku melamun. Aku kan si tukang melamun! Juga nada suaranya yang terasa sejuk menasehatiku ketika aku mengomeli ayah. Ibu selalu saja yakin, Ayah tak akan melupakan kami. Dan berpikiran seperti itu, menduga-duga yang tidak baik, sangatlah bodoh. Apalagi tentang Ayah sendiri.
Tapi aku tetap tidak setuju dengan itu. Sampai sekarang, hingga malam ini! Karena aku sering bertemu dengan orang yang semula kunilai baik, justru kemudian jahat sekali. Contohnya saja, perempuan tua yang kupanggil Nenek itu. Semula aku berpikiran sama dengan Amak, bahwa ia Nenek yang baik. Karena itu pula aku tak takut dibawa ke sini, merantau. Nyatanya di Batam dia sering seperti nenek sihir saja. Suka berteriak-teriak bilang mengatakan aku pemalas dan bodoh, ketika aku pulang membawa duit setoran mengemis tak lebih dari lima ribu rupiah. Katanya harus pandai-pandai membuat orang menjadi iba, muka dibuat seperti sedang sakit dan memelas. Tapi aku tak bisa! Karena aku malu dengan cara pandang mereka yang mungkin bagaikan melihat lalat atau kecoak bau. Hanya sedikit yang masih punya iba dan merogoh kantong, memasukkan recehan uang pada ember kecil plastik yang kusodorkan.
Syukur pula, otakku masih jalan. Atau Sang Maha Pengasih menuntunku, lalu jadi penyemir di kedai Cak Um. Ini jauh lebih baik daripada harus memelas muka dan menghiba-hiba kepada orang-orang. Karena aku bukan meminta, aku menawarkan semiran dan menjadikan sepatu yang tadinya berdebu dan kadang berlumpur menjadi berkilat. Mereka pun jadi bisa tampil keren. Meski pun, Nenek kian menjadi nyinyir karena duit yang dibawa katanya tak cukup untuk biaya makanku. Aneh juga, karena aku makan sering tidak di tempat dia. Tapi kok, selalu dikatakan begitu.
Orang tua memang selalu aneh!
Sama hal Ayah. Kok bisa tidak pernah mengirim kabar lagi. Merantau kan bukan berarti lupa padaku, pada adik-adiku, juga pada Amak. Akupun merantau kini. Tapi yang selalu menjadi penopang langkahku untuk tetap bertahan di sini adalah kerinduan pada Amak, dan adik-adikku. Mencari uang dan mengumpulkannya, untuk bisa di bawa pulang untuk membantu mereka. Meskipun harus sembunyi-sembunyi dari Nenek. Ah, Ayah sama saja dengan kebanyakan laki-laki lain yang pergi merantau dan jarang kembali pulang ke kampung halaman. Meskipun memang ada pula, orang tua lain yang merantau dan mengirimkan segala keperluan anak dan istri. Dan mereka tidak harus berhenti sekolah, atau merantau seperti aku! Tapi itu hanyalah Ayah yang ada dalam mimpi bagiku.
Bagiku hanya Amak, manusia dewasa yang tidak aneh. Bahkan sampai nenek-nenek pun aku yakin Amak tetap perempuan dari Surga. Menanggung adik-adikku dan selalu kulihat letih tiap sore hari sehabis mengambil upah menyiang padi. Tapi tak pernah letih menepuk bahuku, dan menggodaku, si tukang melamun. Meskipun aku tetap tak setuju dengan sangkaan baiknya pada semua orang.
Aku rindu Amakku!
***
.